Setelah negosiasi yang intens selama berhari-hari mengenai jeda kemanusiaan dan pengiriman bantuan ke Jalur Gaza, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meloloskan resolusi tentang bantuan untuk Gaza.
DK PBB, yang beranggotakan 15 negara, menyetujui resolusi itu pada Jumat (22/12) setelah Amerika Serikat (AS) dan Rusia abstain dalam pemungutan suara.
“Hari ini, dewan menyerukan langkah-langkah-langkah mendesak untuk segera memungkinkan akses bantuan kemanusiaan yang aman, tanpa hambatan dan memperluas akses kemanusiaan serta menciptakan kondisi untuk penghentian permusuhan yang berkelanjutan,” kata Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield, menggarisbawahi untuk pertama kalinya dewan menggunakan bahasa seperti itu.
Thomas-Greenfield menegaskan para sandera harus segera dibebaskan, dan baik Israel maupun Hamas harus menghormati hukum kemanusiaan internasional. Dia menambahkan bahwa AS “sangat kecewa” karena resolusi itu tidak mengutuk serangan teror Hamas pada 7 Oktober yang menewaskan 1.200 orang di Israel.
Rusia, yang menginginkan kritik lebih keras terhadap Israel dalam resolusi itu, juga abstain dalam pemungutan suara. Rusia menyebut draf akhir resolusi yang mencantumkan amandemen yang diusulkan oleh Washington sebagai “sangat dikebiri” dan “tak bergigi.”
“Teks rancangan tersebut tidak lagi merujuk pada kecaman atas semua serangan tanpa pandang bulu terhadap warga sipil,” kata Duta Besar Rusia untuk PBB Vassily Nebenzy, yang berbicara melalui penerjemah.
“Sinyal apa yang dikirimkan oleh hal ini kepada komunitas internasional? Bahwa Dewan Keamanan memberikan lampu hijau kepada Israel untuk melakukan kejahatan perang?”
Duta Besar Rusia mengecam anggota dewan karena tindakan mereka yang “mencap keputusan yang nyaman bagi Washington.”
Thomas-Greenfield menepis “kata-kata kasar” Nebenzya. “Rusia juga menciptakan kondisi yang mereka keluhkan saat ini dalam perang yang tidak beralasan di Ukraina,” katanya membalas ucapan Nebenzy.
Menghindari veto AS
Para diplomat, yang sejak Senin (18/12) telah mengerjakan resolusi yang dirancang oleh Uni Emirat Arab, berupaya menghindari penggunaan bahasa yang menyebabkan AS berulang kali memveto pemungutan suara DK PBB sejak Israel melancarkan operasi militer ke Gaza.
Operasi militer yang telah berlangsung selama 10 minggu itu menewaskan lebih dari 20.000 orang di Gaza, menurut Kementerian Kesehatan di wilayah itu.
Dua poin yang mengganjal bagi Israel dan AS adalah seruan untuk menghentikan kekerasan dan perselisihan mengenai siapa yang akan mengawasi pengiriman barang-barang ke Gaza untuk menyaring senjata dan peralatan lain yang akan membantu Hamas. Saat ini, Israel yang mengawasi konvoi pengiriman barang-barang ke Gaza.
Alih-alih menuntut gencatan senjata, rancangan akhir resolusi menyerukan pihak-pihak yang bertikai untuk menciptakan “kondisi-kondisi bagi penghentian kekerasan yang berkelanjutan.” Baik Amerika Serikat maupun Israel saat ini tidak mendukung gencatan senjata.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Antonio Guterres akan menunjuk seorang senior koordinator untuk membentuk mekanisme PBB untuk mempercepat penyediaan bantuan kemanusiaan. Pada rancangan resolusi awal, Guterres punya hak eksklusif untuk mengontrol seluruh pemeriksaan truk bantuan.
Menyusul pemungutan suara, Duta Besar Israel untuk PBB Gilad Erdan mengucapkan terima kasih kepada AS karena berpihak kepada Israel dan “mempertahankan garis tegas” bagi kewenangan Israel untuk memeriksa bantuan yang memasuki Gaza.
Bahasa yang lunak
Seorang sumber diplomatik yang meminta tidak diungkap identitasnya mengatakan kepada VOA bahwa tindakan AS memperlunak bahasa yang digunakan dalam rancangan resolusi, terutama seruan gencatan senjata, telah memantik kemarahan negara-negara anggota PBB lainnya.
Thomas-Greenfield menolak tuduhan bahwa teks final telah diperlunak. “Sebuah resolusi yang sangat kuat yang didukung penuh oleh kelompok Arab,” katanya kepada para wartawan pada Kamis (21/12) malam.
Kata-kata keras bagi Israel
Dalam konferensi pers usai pemungutan suara, Guterres mengulangi seruan untuk pemberlakuan gencatan senjata sebagai satu-satunya cara untuk memenuhi “kebutuhan mendesak masyarakat di Gaza dan mengakhiri mimpi buruk mereka yang terus berlanjut.”
Pemimpin PBB itu melontarkan kata-kata keras kepada Israel yang menegaskan bahwa operasi militernya “menciptakan hambatan masif” bagi warga Gaza yang sangat membutuhkan bantuan.
“Operasi bantuan di Gaza membutuhkan keamanan; anggota staf yang bisa bekerja dengan aman; kapasitas logistik, dan dimulainya kembali aktivitas komersial,” kata Guterres.
“Ini adalah empat elemen yang tidak ada.”
Ketika ditanya apakah Hamas berperan memblokir bantuan, Guterres mengatakan “tentunya bukan faktor yang utama.”
Guterres menambahkan “penggunaan warga sipil sebagai tameng manusia oleh Hamas dan penembakan roket yang terus berlangsung ke target-target warga sipil “tidak pernah menjadi pembenaran hukuman kolektif bagi rakyat Palestina.”
“Jangan membebaskan Israel dari kewajiban hukumnya.” [ft]
Koresponden VOA untuk PBB Margaret Besheer ikut berkontribusi untuk laporan ini.
Comments
Loading…