Junta militer baru Niger pada Kamis (3/8) malam mengatakan bahwa pihaknya mengakhiri perjanjian militer dengan Prancis, bekas penguasa kolonialnya.
Pengumuman junta di televisi pemerintah ini memperdalam isolasi pascakudeta terhadap negara itu yang pernah menjadi mitra keamanan penting terakhir AS dan para sekutu di Sahel, kawasan luas di bagian selatan Gurun Sahara, yang oleh berbagai kelompok ekstremis Islamis dijadikan pusat terorisme global.
Kelompok tentara pemberontak Niger menghadapi tenggat pada Minggu untuk membebaskan dan memulihkan posisi Presiden Mohamed Bazoum. Tenggat itu ditetapkan blok regional ECOWAS, yang utusan-utusannya tiba pada Kamis (3/8) untuk membicarakan perkembangan situasi di sana.
Tetapi pembahasan itu segera terhenti, karena delegasi tersebut tidak dapat bertemu pemimpin kudeta Jenderal Abdourahamane Tchiani, atau menuju ke Ibu Kota, Niamey, menurut seseorang yang mengetahui tentang pembicaraan itu namun berbicara dengan syarat anonim karena tidak berwenang memberi pernyataan.
Pengumuman junta itu menimbulkan keraguan lebih jauh mengenai tercapainya kesepakatan apa pun.
Junta mengatakan mengakhiri perjanjian dan protokol militer yang ditandatangani dengan Prancis dan mengumumkan diakhirinya tugas duta besar Niger untuk Prancis, AS, Togo dan negara tetangganya, Nigeria, yang memimpin upaya-upaya ECOWAS untuk mengadakan dialog.
“Semua agresi atau upaya agresi terhadap negara Niger akan menghadapi tanggapan langsung dan tanpa peringatan,” kata juru bicara pemimpin kudeta, Amadou Abdramane, dengan perkecualian Mali, Burkina Faso dan Guinea, yang menyatakan dukungan bagi kudeta.
Mali dan Burkina Faso telah menyatakan bahwa intervensi semacam itu akan dianggap sebagai pernyataan perang terhadap mereka. [uh/ab]
Comments
Loading…