Jumlah mereka ratusan ribu. Sebuah perhitungan menunjukkan, jumlah mereka sekitar 90 persen dari populasi Qatar saat ini, yakni 2,8 juta. Mereka umumnya datang dari anak benua India dan Filipina. Beberapa lainnya dari negara-negara Afrika, seperti Kenya dan Uganda.
Impian mereka sama: “menjadi kaya dengan bekerja di negara kaya minyak itu”. Iming-iming gaji besar dan fasilitas menggiurkan memupus kesedihan mereka yang terpaksa harus meninggalkan orang-orang yang mereka cintai.
Terwujudkah? Sulit untuk menjawabnya, mengingat tidak ada survei akurat mengenai hal itu. Namun, banyak berita beredar yang mengungkap betapa kandasnya impian-impian para pekerja migran itu.
Keamanan kerja yang buruk, upah yang tidak dibayar, serta tingginya risiko cedera dan kematian adalah cerita yang tidak pernah putus-putusnya beredar. Beberapa organisasi HAM, termasuk Amnesty International, sempat menyebut, lebih dari 15.000 pekerja migran tewas terkait persiapan Piala Dunia sejak 12 tahun lalu, jumlah yang saat ini masih diperdebatkan kebenarannya, dan dibantah pemerintah Qatar.
Kisah hidup para migran itu sempat diprotet dalam film dokumenter “The Workers Cup” yang menyorot turnamen sepakbola antarklub pekerja migran yang diselenggarakan di Doha setiap tahun sejak emirat itu mempersiapkan diri menjadi tuan rumah Piala Dunia. Sutradaranya Adam Sobel sebetulnya tidak ingin menyorot para pekerja migran sebagai korban dalam film itu. Tapi mau tidak mau kondisi kerja dan tempat tinggal yang buruk di kalangan pekerja migran, tergambar jelas dalam film ini.
“Turnamen diselenggarakan di beberapa stadion yang ikut dibangun mereka. Sehingga dalam hal itu hampir seperti fantasi bagi tokoh-tokoh utamanya. Mereka menyelami fantasi sepak bola tetapi kemudian ketika turnamen berakhir dan pertandingan berakhir, mereka akan kembali ke kamp dan kembali hidup sebagai warga kelas terendah di negara terkaya di dunia ini. Jadi pasang surut adalah bagian dari film ini dan saya pikir pasang surut itu menggemakan pengalaman para pekerja yang datang dengan harapan dan impian ini dan kemudian mereka menemui kenyataan yang membuat mereka jatuh terpuruk,” jelasnya.
Mengapa pula Sobel tidak terlalu menyorot kesengsaraan para pekerja migran?
“Karena saya pikir sudah banyak media yang menyorot topik ini dan banyak dari media itu telah melihat pekerja migran sebagai korban. Saya tahu jika film ini ingin memiliki makna, film ini harus memberdayakan mereka dalam beberapa cara, termasuk menghormati harapan mereka, impian mereka, pengorbanan mereka dan tentunya tidak melihat mereka sebagai korban,” lanjutnya.
Banyak cerita memilukan seputar pekerja migran di Qatar. Kantor berita AFP mewawancarai beberapa pekerja migran yang mengalami peristiwa buruk.
Pekerja konstruksi asal Filipina Jovanie Cario, satu di antaranya. Ketika perusahaannya berhenti membayarnya pada tahun 2018, ia sengaja ditangkap agar ia bisa makan gratis di penjara.
Cario, yang menghabiskan enam tahun di Qatar, mengatakan itu adalah taktik umum di antara para migran Filipina yang berjuang untuk bertahan hidup.
Pekerja yang lapar akan menunjukkan dokumen yang sudah tidak berlaku kepada polisi Qatar, yang akan mengunci mereka selama satu malam, memberi mereka makan, dan kemudian membiarkan mereka pergi. “Ketika kami dibebaskan dan kembali ke tempat tinggal kami, perut kami sudah kenyang.”
Cario tiba di Qatar pada 2012, dua tahun setelah negara itu dinobatkan sebagai tuan rumah Piala Dunia. Ia memasang panel kaca dan aluminium di beberapa proyek konstruksi, termasuk Stadion Lusail berkapasitas 80.000 kursi dekat Doha, di mana final akan diadakan pada 18 Desember.
Pengalaman Sravan Kalladi tidak kalah mengharukan. Ia dan ayahnya, Ramesh, sama-sama bekerja di perusahaan yang membangun jalan menuju stadion Piala Dunia.
Tapi hanya Kalladi yang pulang ke India. Setelah melalui banyak waktu kerja yang panjang dan melelahkan, ayahnya yang berusia 50 tahun pingsan dan meninggal di kamp tempat mereka tinggal.
Kondisi kerja “tidak baik sama sekali,” katanya, menggambarkan jam kerja yang panjang dan lembur yang dibayar rendah.
Ayahnya, seorang sopir, “biasa berangkat kerja jam 3 pagi dan pulang jam 11 malam,” katanya.
Mereka termasuk di antara enam hingga delapan orang yang tinggal di sebuah ruangan di kamp di mana “bahkan empat orang tidak dapat duduk dengan benar jika mereka mau,” tambahnya. “Kami harus bekerja dalam kondisi cuaca ekstrem dan makanan yang kami dapatkan tidak enak.”
Keduanya pergi ke negara Teluk itu berharap untuk membangun kehidupan yang lebih baik untuk diri mereka sendiri. Namun setelah membawa jenasah ayahnya pulang ke negara bagian Telangana di India Selatan, Kalladi tidak pernah kembali ke Qatar.
Pekerja asal Bangladesh Babu Sheikh mengalami kecelakaan naas. Ia jatuh dari ketinggian empat meter dan tengkorak kepalanya retak.
Ia menghabiskan empat bulan dalam keadaan koma di rumah sakit. Ketika sadar, dia buta.
“Ketika saya sadar kembali, saya tidak bisa melihat apa-apa,” katanya. “Saya bertanya kepada saudara laki-laki saya apakah tempat itu gelap. Ia mengatakan kepada saya bahwa itu cukup terang. Saya tidak percaya bahwa saya kehilangan penglihatan saya. Saya tidak tahu bagaimana empat bulan berlalu dan bagaimana semua itu terjadi.”
Butuh 18 bulan sebelum ia bisa meninggalkan rumah sakit, dengan tagihan membengkak yang dibayar oleh keluarganya. Otoritas Qatar menuntut majikannya tetapi kasusnya dibatalkan dan ia tidak pernah menerima kompensasi apa pun, katanya.
Syekh kini lebih sering duduk diam di halaman depan rumahnya. Kadang-kadang putranya membawanya ke pasar terdekat atau ke warung teh di sore hari di mana ia mengobrol dengan teman-teman masa kecilnya. [ab/uh]
Comments
Loading…