Joe Biden di akhir masa jabatannya sebagai presiden Amerika Serikat berupaya mengalihkan perhatian ke Afrika. Dalam kurun waktu satu hari, di hadapan para pemimpin dunia, ia mengangkat konflik Sudan sebagai prioritas, mengumumkan bahwa ia akan melakukan perjalanan ke Angola dan mendukung penambahan dua kursi bagi negara-negara Afrika di Dewan Keamanan PBB.
Dalam pidato perpisahannya di Majelis Umum PBB pada Selasa (24/9), Biden menyampaikan beberapa pendekatan singkat ke benua Afrika — mengingatkan para pemimpin dunia tentang kejahatan rezim apartheid Afrika Selatan, menyerukan diakhirinya konflik yang melelahkan di Sudan dan menyatakan urgensi dalam memerangi wabah penyakit di Republik Demokratik Kongo.
Namun, dua baris pendek ini mungkin memiliki bobot paling besar: “PBB perlu beradaptasi untuk menghadirkan suara-suara baru dan perspektif baru,” katanya. “Itulah sebabnya kami mendukung reformasi dan perluasan keanggotaan Dewan Keamanan PBB.”
Selama bertahun-tahun, para pemimpin Afrika telah menyerukan agar anggota tetap Dewan Keamanan ikut serta dalam perundingan ini. Namun, para pengecam menunjukkan bahwa Washington tidak mendukung hak istimewa penting yang dinikmati oleh anggota tetap Dewan Keamanan saat ini: hak veto.
Cameron Hudson, seorang peneliti senior dalam Program Afrika di Pusat Studi Strategis dan Internasional (CAIS), mengatakan negara-negara Afrika bingung dengan posisi Biden.
“Menurut saya, ini benar-benar proyeknya yang belum selesai, mungkin lebih banyak kata-kata daripada kenyataan,” katanya kepada VOA. “Terus terang saja, fakta bahwa ia telah memberikan peringatan atas pengumuman ini dengan mengatakan bahwa orang Afrika tidak boleh mendapatkan hak veto ketika mereka memperoleh kursi dan jika mereka mendapatkan kursi tetap di Dewan Keamanan, terus terang saja, telah membuat orang Afrika bingung.”
John Fortier, seorang peneliti senior di American Enterprise Institute, mengatakan penting bahwa Biden menggunakan platform ini untuk menyerukan diakhirinya konflik Sudan yang telah berlangsung selama 17 bulan, tetapi dia meragukan apakah seruan itu akan memicu tindakan.
“Ini adalah salah satu konflik yang serius tetapi belum mendapat perhatian dunia, dan saya pikir maksudnya adalah untuk mengangkatnya ke dalam kesadaran dunia tetapi belum benar-benar mengetahui bagaimana kita akan mengakhirinya,” kata Fortier.
Konflik tersebut telah menyebabkan jutaan orang mengungsi dan memicu bencana kelaparan. Jadi, menurut para analis, penting bagi presiden Amerika untuk memberikan tekanan pada pihak-pihak yang bertikai.
“Saya pikir Biden benar-benar ingin meringankan krisis kemanusiaan dan menyelesaikan konflik di Sudan,” kata Daniel Volman, direktur African Security Research Project, dalam email kepada VOA.
“Tetapi saya pikir dia enggan menekan negara-negara seperti Mesir dan Uni Emirat Arab yang mempersenjatai para jenderal, karena mereka adalah sekutu utama selama perang Gaza. “Juga, Biden didorong oleh tekanan dari beberapa anggota Kongres untuk mengambil tindakan yang lebih kuat dan lebih efektif. Saya pikir dia akan mengambil beberapa tindakan terbatas, seperti dana baru untuk bantuan kemanusiaan yang baru saja diumumkan, tetapi saya tidak menganggap hal itu akan membuahkan hasil yang signifikan.”
Dan terakhir, pengumuman Biden di luar kamera bahwa ia akan mengunjungi Angola bulan depan memungkinkannya untuk menepati janjinya untuk mengunjungi benua itu.
Namun sekali lagi, Hudson bertanya-tanya bagaimana kunjungan yang telah lama tertunda ini akan benar-benar terlaksana. “Datang, di penghujung masa jabatannya, tanpa banyak hal yang, menurut saya, benar-benar merayakan keterlibatannya di Afrika, saya kira kunjungan itu akan terasa agak hampa,” kata Hudson.
Biden memiliki sisa empat bulan dalam masa jabatan kepresidenannya. [my/lt]
Comments
Loading…