Presiden Sri Lanka, Rabu (6/3) mengatakan bahwa ia sedang mengupayakan moratorium pembayaran pinjaman hingga tahun 2028 sewaktu negara yang dililit utang itu berusaha keluar dari kebangkrutan.
Presiden Ranil Wickremesinghe mengatakan kepada Parlemen bahwa pemerintah meminta para pemberi pinjaman untuk menerima rencana penundaan pembayaran selama lima tahun dan kemudian membayar utangnya dari awal tahun 2028 hingga 2042.
Sri Lanka menyatakan kebangkrutan pada bulan April 2022 dan menangguhkan pembayaran kembali pinjaman lokal dan luar negeri senilai $83 miliar di tengah krisis valuta asing yang parah yang menyebabkan kekurangan kebutuhan pokok seperti makanan, obat-obatan, bahan bakar dan gas untuk memasak, serta pemadaman listrik selama berjam-jam.
“Tujuan kami adalah mendapatkan keringanan sementara dari gagal bayar utang dari tahun 2023 hingga 2027. Selanjutnya, kami berencana bekerja keras untuk melunasi pinjaman tersebut pada periode 2027 hingga 2042,” kata Wickremesinghe.
Pada tahun 2022, Sri Lanka harus membayar utang luar negerinya sekitar $6 miliar setiap tahunnya, atau setara dengan 9,5 persen PDB. Pemerintah bertujuan untuk mengurangi pembayaran utang menjadi 4,5 persen PDB melalui negosiasi restrukturisasi utang, kata Wickremesinghe.
Meskipun indikator-indikator perekonomian membaik dan kelangkaan terburuk berhasil diatasi, masyarakat Sri Lanka telah kehilangan daya beli karena tingginya pajak dan devaluasi mata uang, sementara pengangguran masih tetap tinggi karena industri-industri yang sempat terpuruk pada puncak krisis belum bangkit kembali.
Tahun lalu, Wickremesinghe mengatakan kepada Parlemen bahwa dia meminta pengurangan pinjaman sebesar $17 miliar.
Sri Lanka saat ini berada di bawah program dana talangan selama empat tahun dari Dana Moneter Internasional (IMF), yang melalui lembaga itu sebesar $2,9 miliar akan dicairkan secara bertahap setelah dilakukan tinjauan dua kali setahun.
Sri Lanka telah menerima dua pembayaran sejauh ini, setelah menerima janji pengampunan utang dari para kreditor besar seperti India, Jepang dan China.
Pemerintah saat ini sedang berbicara dengan para kreditor swasta untuk mencari kesepakatan akhir.
Krisis ekonomi terburuk dalam sejarah Sri Lanka menciptakan keresahan masyarakat yang mendorong Presiden Gotabhaya Rajapaksa meninggalkan negaranya dan mengundurkan diri.
Sejak Wickremesinghe mengambil alih kekuasaan pada Juli 2022, ia telah berhasil memulihkan listrik dan kekurangan kebutuhan pokok sebagian besar telah berkurang. Mata uang Sri Lanka menguat, inflasi turun dari 70 persen menjadi 5,9 persen, dan suku bunga turun menjadi sekitar 10 persen.
Namun, Wickremesinghe menghadapi kemarahan masyarakat atas pajak yang besar dan tingginya biaya hidup.
Wickremesinghe berharap dapat mengecualikan buku sekolah, peralatan, alat kesehatan, dan obat-obatan dari Pajak Pertambahan Nilai sebesar 18 persen dalam upaya meringankan sebagian beban tersebut. [ab/uh]
Comments
Loading…