Kepolisian Hong Kong pada hari Senin (5/6) mengatakan, pihaknya menahan 27 orang karena dicurigai merusak perdamaian sosial selama dua hari terakhir, ketika para aktivis memperingati 34 tahun penumpasan demonstran pro-demokrasi di Lapangan Tiananmen Beijing.
Lima lainnya ditangkap setelah polisi mengumpulkan para aktivis pada hari Sabtu (3/6) dan Minggu (4/6) di atau dekat Taman Victoria, lokasi diselenggarakannya acara nyala lilin tahunan untuk mengenang ratusan orang yang tewas di Lapangan Tiananmen pada 4 Juni 1989.
Polisi mengatakan, mereka yang ditangkap dapat menghadapi dakwaan soal perilaku tidak tertib, penghasutan dan perilaku melanggar hukum lainnya.
Polisi tidak mengidentifikasi mereka, namun menurut media setempat, mereka yang ditangkap termasuk dua aktivis yang mengenakan kaus hitam memperingati 4 Juni atau bertuliskan “kebenaran.”
Salah satunya memegang karangan bunga bagi para korban, dan keduanya memegang poster yang menunjukkan bahwa mereka sedang melakukan aksi mogok makan selama 24 jam untuk mengenang para korban. Selain kedua orang itu, seorang mahasiswa pascasarjana, yang mengenakan pakaian serupa, juga ditangkap, menurut Asosiasi HAM Taiwan.
Seorang seniman yang pernah tampil pada peringatan tahunan serupa di masa lalu juga ditangkap dan tampak dalam video yang beredar luas meneriakkan, “Warga Hong Kong, jangan takut” sambil diseret petugas.
Selama tiga dekade terakhir, Hong Kong telah menjadi satu-satunya tempat di Tiongkok, di mana acara peringatan diizinkan digelar. Izin untuk menggelar acara peringatan pun diberikan bahkan setelah bekas koloni Inggris itu dikembalikan ke kedaulatan Tiongkok pada 1997.
Namun selama tiga tahun terakhir, pemerintah di Hong Kong melarang acara peringatan dengan alasan kebijakan menjaga jarak sosial COVID-19. Hong Kong kini telah mencabut seluruh pembatasan COVID-19.
Secara terpisah, seorang perempuan berusia 53 tahun ditangkap karena dituduh menghalang-halangi tugas polisi dan dibawa oleh sebuah mobil van setelah menolak memberitahu identitasnya ketika diminta.
Penahanan dan penangkapan tersebut membuktikan lebih jauh bahwa hak-hak warga Hong Kong yang mereka nikmati selama ini, termasuk kebebasan berkumpul dan berekspresi, sedang dibatasi, kata sejumlah aktivis. Hak-hak itu dijamin oleh konstitusi kecil kota itu, yang disebut juga sebagai Hukum Dasar.
“Situasi politik Hong Kong saat ini telah semakin ketat,” kata Richard Tsoi, mantan wakil ketua Aliansi Hong Kong untuk Mendukung Gerakan Demokrasi Patriotik Tiongkok. Kelompok yang sebelumnya menyelenggarakan acara mengenang peristiwa Lapangan Tiananmen itu kini sudah bubar.
Para pengamat mencatat, selain mengenakan pakaian hitam, para pengunjuk rasa juga memilih menunjukkan warga gerakan pro-demokrasi, warna kuning, baik dengan membawa payung kuning atau memakai kaus kaki kuning. Beberapa pakaian itu mengandung kata-kata yang dianggap polisi mencurigakan, menurut laporan media setempat.
Para pengamat juga mengatakan, pemerintah Hong Kong tidak menjelaskan apakah acara berkabung secara terbuka, pemakaian pakaian berwarna hitam atau kuning, maupun kata-kata peringatan diizinkan.
Selain itu, “Beberapa orang hanya memegang buku (tentang peristiwa 4 Juni) dan berjalan-jalan di sekitar taman,” kata Tsoi.
“Departemen penegakan hukum tidak boleh melakukan hal seenaknya di Hong Kong; mereka harus mempertimbangkan respons sosial, kritik internasional, sehingga mereka tidak bisa berlebihan,” tambah Tsoi, sambil mengakui bahwa sulit bagi orang untuk mengadakan aksi bersama untuk memperingati peristiwa itu.
Pengamat mengatakan, Beijing dan pemerintah lokal yang dibuat bingung oleh aksi protes meluas, mengganggu dan terkadang disetai kekerasan – termasuk ancaman bom pada 2019 – ingin mencegah aksi serupa terjadi kembali. Pada 2019, Hong Kong menjadi tempat berlangsungnya demonstrasi pro-demokrasi yang memicu tindakan keras politik yang meluas.
Pada hari Senin, Asosiasi Jurnalis Hong Kong menerbitkan sebuah pernyataan yang meminta polisi menjelaskan mengapa mereka menahan mantan ketua asosiasi itu di sebuah pos polisi selama empat jam sampai pukul 11 malam waktu setempat, mencegahnya bekerja.
Mai Yin-ting, koresponden Radio France Internationale, diperintahkan masuk ke dalam mobil polisi di dekat taman dan dibawa pergi tanpa penjelasan, bahkan setelah ia menunjukkan kartu pengenal persnya, kata asosiasi itu.
“Asosiasi mendesak polisi untuk menghormati kerja-kerja peliputan berita, bukannya menahan jurnalis tanpa alasan, yang sangat menghambat pekerjaan peliputan,” kata asosiasi itu.
Mai mengatakan kepada VOA bahwa pada acara peringatan Lapangan Tiananmen sebelum-sebelumnya, polisi memeriksa kartu pengenal persnya dan jurnalis lain, tapi ia tidak ingat ada jurnalis yang pernah dibawa pergi. Mai yakin, ia dan tahanan lainnya disasar karena berpakaian hitam.
“Saya rasa penahanan ini bukan karena apa yang mereka lakukan, tapi hanya karena mereka ada di lokasi. Dua orang mengatakan kepada saya bahwa mereka sedang berjalan menuju toko di dekat lokasi untuk berbelanja. Satu orang memakai kaus kaki dengan tulisan ‘Hong Kong Add Oil (sebuah frase penyemangat)’. Meski begitu, mereka seharusnya tidak mencurigai mereka merusak perdamaian,” kata Mai.
“Saya tentu sangat tidak setuju dengan mereka yang mengatakan hari ini bahwa saya, di antara 23 orang yang ditahan, mengganggu perdamaian sosial. Saya hanya berdiri di sana selama 10 menit, mengamati, tanpa berbicara kepada siapa-siapa.”
Polisi mengeluarkan sebuah pernyataan tentang tuduhan wartawan itu, yang menyatakan bahwa pihaknya tidak menyasar wartawan atau menghambat media melakukan pekerjaan mereka. Polisi menegaskan bahwa jurnalis tidak memiliki keistimewaan untuk tidak dihentikan dan digeledah di area berisiko tinggi, sesuai hukum. Pernyataan itu menyatakan bahwa Mai tidak mengenakan kartu pengenal pers ketika ia dihentikan polisi, dan jika saja ia bersifat kooperatif, maka insiden itu dapat dihindari.
Dalam sebuah pernyataan hari Sabtu (3/6) tentang penangkapan aktivis, polisi mengatakan bahwa mereka “sangat khawatir tentang sejumlah orang yang berusaha memicu dan memprovokasi orang lain untuk melakukan tindakan ilegal yang membahayakan keamanan nasional, ketertiban umum, dan keamanan masyarakat.” [rd/jm]
Comments
Loading…