“Akhiri kelaparan akan buku bagi tunanetra.” Itulah pesan yang disampaikan oleh orang-orang Afrika Selatan ke pengadilan tertinggi di negara itu.
Dua organisasi nirlaba, BlindSA dan Section 27, mendatangi Mahkamah Konstitusi untuk menentang undang-undang hak cipta berusia 44 tahun yang melarang buku dicetak dalam braille – sistem membaca sentuh bagi tunanetra – tanpa izin dari penerbit.
Saat ini, kurang dari 0,5% karya yang diterbitkan tersedia dalam format yang dapat diakses oleh tunanetra di Afrika Selatan.
“Selama 44 tahun terakhir hak-hak tunanetra telah dilanggar dan di Afrika Selatan yang demokratis selama 28 tahun kami telah dibungkam. Lebih lama lagi ini bisa berlanjut. Ketidakadilan harus dihentikan dan harus dihentikan sekarang,” ujar Jace Nair, yang merupakan CEO BlindSA.
Aktivis tunanetra Thandile Butana telah berjuang untuk menentang undang-undang itu. Dia telah menyelesaikan gelar sarjana di bidang ilmu sosial tetapi menunda gelar masternya karena sulitnya menerjemahkan buku teks ke dalam huruf braille.
“Sayangnya, kita tidak dapat berkontribusi positif bagi perekonomian negara jika kita tidak berpendidikan, dan pendidikan bergantung pada akses pada buku,” kata Butana.
Untuk menempuh studi sarjananya, Butana harus membayar mahasiswa lain untuk membacakan buku teks untuknya. Sekarang, undang-undang hak cipta yang sama mempengaruhi kemampuannya untuk membantu putranya mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolah.
“Saya tidak memiliki buku yang dapat diakses untuk kebutuhan saya, dan itu membuat saya kurang lengkap sebagai seorang ibu. Saya sendiri tidak bisa membantunya,” tambahnya.
Perjuangan Thandile Butana tersebut tidak hanya terbatas pada komunitas tunanetra Afrika Selatan. Kesulitan seperti itu merupakan masalah bagi kebanyakan orang dengan gangguan penglihatan di seluruh wilayah Afrika.
Serikat Tunanetra Dunia (WBU) memperkirakan penyandang tunanetra di benua itu hanya memiliki akses antara 1 hingga 7 persen dari jumlah keseluruhan buku yang beredar.
Perjanjian Marrakesh, yang memungkinkan pertukaran buku dengan format yang dapat diakses melewati batas-batas negara secara internasional, telah ditandatangani oleh sejumlah negara Afrika.
Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan belum mengeluarkan putusannya tentang undang-undang hak cipta itu. Sejauh ini tidak ada yang yakin kapan putusan itu akan dijatuhkan, tetapi komunitas tunanetra Afrika Selatan berharap putusan itu akan menjadi putusan yang positif dan membuka dunia baru yang menjadi sumber pengetahuan bagi mereka yang mengalami gangguan penglihatan. [lt/rs]
Comments
Loading…